Minggu, 24 April 2011

cerpen.

Meinisa Primacitra / 10.6

Upacara

     "Del, kamu bawa topi sama dasi satu lagi nggak?"
     "Sorry Ris, aku cuma bawa satu."
Aku langsung berjalan dengan kecepatan penuh ke kelas lain. Mungkin kalau aku ikut lomba jalan cepat pasti aku jadi pemenangnya. Aku melirik jam tanganku, waktu menunjukan pukul 06.27 WIB. Kurang tiga menit lagi, batinku. Aku langsung menghampiri temanku yang ada di kelas XI IPA 1.
     "Rif, bawa topi sama dasi lagi nggak?" tanyaku sedikit berteriak. Aku tidak peduli dengan tatapan keheranan anak satu kelas tersebut.
     Oh My God! gimana,nih? Aku mulai panik karena tidak mendapat pinjaman topi dan dasi. Tapi aku tidak mau menyerah. Aku langsung berlari (tidak lagi berjalan karena waktu semakin mengejarku) ke kelas X. Hasilnya NIHIL.
     Ingin menangis rasanya. Aku sudah lelah berjalan, berlari dan bertanya. Aku menguatkan diri dan menahan air mataku. Pasti malu-maluin banget kalau aku sampai menangis cuma gara-gara tidak mendapatkan pinjaman topi dan dasi. Itu bukan Risa banget! Risa, ayo semangat! Aku memberi semangat pada diriku sendiri.
     Tapi, akhirnya aku berjalan ke kelasku dengan lemas. Sudah banyak anak yang berjalan menuju ke lapangan untuk mengikuti upacara mempringati hari Kebangkitan Nasional. 
     Seandainya dua minggu yang lalu tidak di berlakukan peraturan baru bagi seluruh siswa SMA 9 yang berjilbab wajib mengenakan topi dan dasi saat upacara. Aku tidak akan kalang kabut seperti ini. Memang sih, aku bisa membelinya di koperasi sekolah, tapi dua minggu lagi aku akan naik kelas XII dan siswa kelas XII tidak diwajibkan ikut upacara. Sebagai gantinya waktu upacara akan dipergunakan untuk tambahan pelajaran. Jadi, aku tidak berkeinginan untuk membeli topi dan dasi. Selain itu kalau pakai jilbab pasti dasinya bakalan nggak kelihatan kan?
     "Nggak dapat pinjaman, Ris?" tanya Deya, teman sebangkuku, saat aku kembali ke kelas.
     Aku hanya menggelengkan kepala dan terduduk lemas di sampingnya.
     "Gimana, nih?" tanyaku sembari memandang ke arah lapangan yang sudah terisi sebagian anak kelas X. Anak kelas X memang selalu paling rajin.
     "Aku nggak usah ikut upacara aja kali ya?"
     "Udah, nggak apa-apa, ikut aja. Nanti kamu baris tengah biar ga ketawan guru. Gimana?" usul Deya.
     Aku berpikir beberapa detik, entah apa dengan waktu yang sangat sedikit itu aku bisa berpikir dengan jernih. Tapi aku harus ikut upacara, ini kan moment yang penting untuk mengenang jasa pahlawan. Toh, pengorbananku tmencari pinjaman topi dan dasi, berdiri di bawah terik matahari selama satu jam tidak sebesar pengorbanan mereka. Aku pun bertekad mengikuti upacara.
     "Bagi para siswa yang masih berada di dalam kelas diharapkan segera menuju ke lapangan, upcara akan segera dimulai." Terdengar pengumuman dari pengeras suara di kelasku. Aku dan teman-temanku pergi ke lapangan. Kami baris di sebelah utara. Dan aku langsung mengambil posisi strategisku, bagian tengah. Sebenarnya aku sangat khawatir, kalau ada guru yang melihatku dan langsung memisahkanku dari barisan sendiri, barisan di bagian paling selatan lapangan. Barisan ini khusus bagi siswa yang tidak mematuhi kelengkapan atribut topi dan dasi. Aku tidak bisa membayangkan betapa malunya diriku kalau sampai hal itu terjadi.
     "Baris yang rapi dan bagi siswa yang tidak lengkap atributnya silakan menuju barisan paling selatan"
     Terdengar suara Pak Herman dari pengerasn suara di lapangan. Aduh, kenapa para guru selalu
mempersulit siswanya. Aku pura-pura tidak mendengarkan walaupun suara itu sangat keras. Aku tetap berdiri di tempatku. Pengumuman itu membuatku tambah cemas.
     Upacara telah berjalan beberapa menit. Sejauh ini tidak terjadi apa-apa. Tapi aku tetap waspada dan cemas, sekali aku menoleh ke belakang kalau ada guru yang mendekat. Matahari pagi itu sangat terik, keringatku mulai bercucuran seperti keran. Sulit membedakan mana keringat karena kepanasan dan mana keringat karena kecemasan ku pagi itu. Mungkin karena alasan itu sepertinya aku mengeluarkan banyak sekali keringat, daripada teman-temanku.
     Aku menoleh kebelakang dan melihat ada guru yang menyeret seseorang perempuan berjilbab yang tidak mengenakan topi dan dasi. Barisan itu tidak jauh dari barisanku. Aku tiada hentinya berdoa agar tiba-tiba guru tersebut kelilipan atau whatever, yang penting jangan sampai melihatku. Aku terus berdoa, berdoa, dan berdoa. Tapi, sepertinya doaku tidak di kabulkan oleh Allah karena guru itu semakin mendekatiku. 
     Jangan, jangan, jangan kesini.... aku melanjutkan permohonanku. Guru itu semakin mendekat dan mendekati tempatku. Aku berpikir apa yang harus aku lakukan, sampai aku melihat beberapa anak PMR berdiri di belakang barisan.
Akhirnya............
    
     BRUK!!

     Aku mendengar hingarbingar teman-temanku yang mengerumuniku. Mereka berusaha mengangkatku dan meletakan aku di atas tandu yang di bawa oleh anak PMR. Lalu, aku merasa tubuhku digotong. Dan aku yakin pastilah ke UKS. Fiuh..... leganya.
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar